Pages

Monday, August 9, 2010

Oleh-Oleh Dari Kampung Pribumi


By : Didi Suardi

Suhu udara hari ini terasa lebih panas, sepertinya sudah mulai memasuki puncak-puncaknya musim panas. Di balik kaca sebuh mobil bis, saya melihat banyak sekali orang-orang yang berlulu-lalang di samping jalan. Dalam kondisi panas seperti ini saya tertingat masa SMP dulu.

Setiap pagi disaat kami akan berangkat sekolah, kami harus berjalan ke sebuah desa untuk mendapatkan kendaraan. Ini awalnya disebkan karena adanya pertengkaran antar pemuda desa sehingga membuat keharmonisan di antra kami cukup terganngu, terutama bagi anak-anak sekolah.

Ketika saya sampai di rumah sehabis pulang dari sekolah dalam keadaan panas bercampur keringat, haus dan lapar. Saat membuka penututup makanan ternyata yang ada hanya nasi tanpa lauk pauk. Saat itu juga rasanya saya ingin marah, teutama sama ibu. Sepertinya mereka tidak pernah merasakan betapa lelahnya kaki ini ketika harus berjalan pulang pergi setiap hari.

Sesaat kemudain bapak masuk hendak makan, tampaknya bapak lebih lelah dari pada saya, mungkin bapak baru pulang. Saya melihat bapak mengambil nasi, ia tahu kalo di meja makan itu sama sekali tidak ada lauk pauk. Saya tidak melihat apa yang diambil bapak untuk menemani makannya sebagai ganti dari lauk pauk.

Ketika saya mendekat, ternyata bapak hanya makan nasi dan bawang merah yang ditaburi dengan garam. Saat itu saya menagis, saya tidak tega melihat bapak yang hanya makan nasi dengan garam. Rasanya saya ingin merebut nasi itu, tapi bapak sama sekali tidak penah mempermasalahkan hal itu. Saya benar-benar terharu melihat bapak yang bisa menerima apa adanya.

Saya sadar, kenapa saya harus marah! bapak saja yang seharian bekerja dan banting tulang sama sekali tidak pernah marah. Mungkin ibu punya kepentingan lain sehingga tidak sempat menyiapkan makanan hari ini. Bagi saya bapak bukan hanya sebagai orang tua, tapi juga sebagai figur bagi anak-anaknya. Teima kasih Bapak.

Di tahun 2009, akhirknya allah memepertemukan kami kembali dalam satu keluarga. sejak 4 tahun kami tidak pernah berjumpa, rasanya sudah sangat rindu ingin beremu. Ketika pertama kali melihat ibu/bapak di bandara. Ibu terlihat lebih kurus dari biasanya. Ku cium tanganya, ku peluk tubuhya, air mataku menetes karena melihat ibu tampak semakin kurus.

Sesampai di rumah, saya melihat suasana begitu berbeda dan mereka begitu menanamkan harapan kepada kita, jika saja kita pulang tanpa membawa apa-apa maka mereka akan kecewa pada kita.

Suatu hari ibu begitu sibuk memotong-motong daging sapi untuk dibuat kecil-kecil sepertinya mau dibuat sate, saya pun ikut membantunya. Kemudian saya bertanya:

“Buat apa ini bu?”
“Ini, buat besok, tetangga sebelah kan mau ada hajatan dan pada sore harinya, katanya ada hiburan makanya ibu mau ikut berjualan sate”
“Buat apa bu”
“Ya iseng-isng aja dari pada ngangur di rumah, kaya kemaren ibu juga lumayan dapat untung kecil-kecilan”.
“Ya udah kalo gitu, sini bu saya bantu megiriskan dagingnya”

Keesokan harinya, langit begitu cerah, sepertinya hari ini tidak akan turun hujan, saya membantu ibu menyiapkan tenda, meja dan peralatan lainya. Disampingnya pula ada banyak yang berjualan, dari mulai penjual bakso, bubur ayam sampai dengan mainan anak-anak. Saya ikut menemani ibu saat berjualan sate, tapi ibu melarangku agar aku diam saja di rumah, ibuku lebih suka saya belajar dari pada membantunya.

Hari sudah mulai sore, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Sesaat kemudian hujan turun begitu deras, ibuku terjebak dalam sebuah tenda dengan hujan yang terus mengguyur. Saya berlari ke arahnya, tapi ibuku masih sibuk membakar sate, melayani pesanan orang-orang. Baju dan kerudungnya semuanya basah terkena air hujan. Dari jarak beberapa meter saya memperhatikan ibu begitu pokus dan tidak menghiraukan tetesan air yang membasahi bajunya. Saya membayangkan, ya allah begitu besar pengorbanan orang tua untuk keluarga dan anak-anaknya.

Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi saya pribadi, dalam hidup memang harus bekerja keras dan tak perlu malu apa lagi gengsi. Selama itu baik dan selama harta yang didapat adalah harta yang halal, kenapa harus malu. Malah yang seharusnya malu adalah mereka yang duduk di kursi sana yang memakan harta rakyatnya dengan jalan tidak baik.

Dengan berjalanya waktu dan ketika saya ada disini(mesir) ternyata disana orang tua kita bekerja banting tulang bahkan ada pula orang tua yang sampai bekerja siang dan malam. Itu semu mereka lakukan hanya untuk mencari kehidupan. Semua orang tua pasti menginginkan dan mendambakan anaknya kelak menadi anak yang shaleh/shalehah, berbakti kepada orang tua dan mampu meraih cinta-cita.

Setiap orang pasti memiliki kisahnya masing-masing dan setiap manusia berhak memiliki cinta-cita, maka berbahagialah bagi orang-orang yang memiliki semangat tinggi untuk bekerja keras, berjuang demi meraih masa depan yang dicita-citakan dan mampu membahagiakan kedua orang tua. Semoga kita bisa mewujudkan harapan mereka. Amiin

Cairo, 24 juni 2010. 01.30am